Imam Abu Muhammad Abdur Rahman ibnu Abu Hatim
mengatakan di dalam kitab Tafsir-nya:
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
rnenceritakan kepada kami Ja'far ibnu Musafir, telah menceritakan kepada kami
Zaid ibnul Mubarak As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Salam ibnu Wahb
Al-Jundi. telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Tawus, dari Ibnu Abbas,
bahwa Usman bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tentang
basmalah. Beliau menjawab: Basmalah merupakan salah
satu dari nama-nama Allah; antara dia dan asma Allahu Akbar jaraknya tiada lain
hanyalah seperti antara bagian hitam dari bola mata dan bagian putihnya karena
saking dekatnya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Bakar
ibnu Murdawaih, dari Sulaiman ibnu Ahmad, dari Ali ibnul Mubarak, dari Zaid
ibnul Mubarak.
Al-Hafiz ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui
dua jalur. dari Ismail ibnu Iyasy, dari Ismail ibnu Yahya, dari Mis'ar, dari
Atiyyah, dari Abu Sa'id yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam pernah bersabda,
"Sesungguhnya Isa ibnu Maryam 'Alihis salaam diserahkan oleh ibunya kepada guru tulis untuk diajar menulis.
Kemudian si guru berkata kepadanya, Tulislah.'
Isa 'Alihis salaam bertanya, 'Apa yang harus aku tulis?'
Si guru menjawab, 'Bismillah."
Isa bertanya kepadanya, 'Apakah arti bismillah itu?'
Si guru menjawab, 'Aku tidak tahu.'
Isa menjawab, 'Huruf ba artinya cahaya Allah, huruf sin artinya sinar-Nya. huruf mim artinya kerajaan-Nya, dan Allah adalah Tuhan semua yang dianggap tuhan. Ar-Rahman artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahim artinya Yang Maha Penyayang di akhirat'."
"Sesungguhnya Isa ibnu Maryam 'Alihis salaam diserahkan oleh ibunya kepada guru tulis untuk diajar menulis.
Kemudian si guru berkata kepadanya, Tulislah.'
Isa 'Alihis salaam bertanya, 'Apa yang harus aku tulis?'
Si guru menjawab, 'Bismillah."
Isa bertanya kepadanya, 'Apakah arti bismillah itu?'
Si guru menjawab, 'Aku tidak tahu.'
Isa menjawab, 'Huruf ba artinya cahaya Allah, huruf sin artinya sinar-Nya. huruf mim artinya kerajaan-Nya, dan Allah adalah Tuhan semua yang dianggap tuhan. Ar-Rahman artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahim artinya Yang Maha Penyayang di akhirat'."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir
melalui hadis Ibrahim ibnul Ala yang dijuluki dengan sebutan Ibnu Zabriq, dari
Ismail ibnu Iyasy, dari Ismail ibnu Yahya, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari
seseorang yang menceritakannya, dari Ibnu Mas'ud dan Mis'ar, dari Atiyyah, dari
Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah
bersabda. Kemudian ia menuturkan hadis ini, tetapi predikatnya garib (aneh)
sekali. Barangkali berpredikat sahih sampai kepada orang selain Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam, dan barangkali hadis ini termasuk salah satu dari
hadis israiliyat, bukan dari hadis yang marfu’. Juwaibir meriwayatkannya pula
sebelum dia, dari Dahhak.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadis Yazid
ibnu Khalid, dari Sulaiman ibnu Buraidah; sedangkan menurut riwayat lain dari
Abdul Karim Abu Umayyah, dari Abu Buraidah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Telah
diturunkan kepadaku suatu ayat yang belum pernah diturunkan kepada seorang
nabipun selain Sulaiman ibnu Daud dan aku sendiri, yaitu bismillahir rahmanir
rahim (Dengan nama Allah Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula berikut
sanadnya melalui Abdul Karim Al-Kabir ibnul Mu'afa ibnu Imran, dari ayahnya,
dari Umar ibnu Zar, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Jabir ibnu Abdullah yang
menceritakan bahwa ketika diturunkan kalimat berikut: Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang. Maka seluruh awan lari ke arah timur, angin hening tak bertiup,
sedangkan lautan menggelora, semua binatang mendengar melalui telinga mereka,
dan semua setan dirajam dari langit. Pada saat itu Allah Subhaanahu wa ta’ala
bersumpah dengan menyebut keagungan dan kemuliaan-Nya bahwa tidak sekali-kali
asma-Nya (yang ada dalam basmalah) diucapkan terhadap sesuatu melainkan Dia
pasti memberkatinya.
Waki' mengatakan dari Al-A'masy, dari Abu
Wa'il, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa barang siapa yang ingin
diselamatkan oleh Allah dari Malaikat Zabaniyah yang jumlahnya sembilan belas
(Zabaniyah adalah juru penyiksa neraka), hendaklah ia membaca: Dengan nama Allah
YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Allah akan menjadikan sebuah surga baginya pada
setiap huruf dari basmalah untuk menggantikan setiap Malaikat Zabaniah. Hal ini
diketengahkan oleh Ibnu Atiyyah dan Al-Qurtubi, diperkuat dan didukung oleh Ibnu
Atiyyah dengan sebuah hadis yang mengatakan,
"Sesungguhnya aku
melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebutan (mencatat) perkataan seorang lelaki yang
mengucapkan, 'rabbana walakal
hamdu hamdan ka'siran tayyiban mubarakan fihi' (Wahai Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji
dengan pujian yang sebanyak-banyaknya, baik lagi diberkati),
mengingat jumlah semua hurufnya ada sembilan
belas." Dan dalil-dalil lainnya.
Imam Ahmad ibnu Hambal di dalam kitab
Musnad-nya mengatakan bahwa:
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Asim yang mengatakan bahwa
ia pernah mendengar dari Abu Tamim yang menceritakan hadis dari orang yang
pernah membonceng Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam Si pembonceng menceritakan:
Unta kendaraan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terperosok,
maka aku mengatakan, "Celakalah setan."
Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Janganlah kamu katakan, 'Celakalah setan,'
karena sesungguhnya jika kamu katakan demikian, maka ia makin membesar, lalu mengatakan, 'Dengan kekuatanku niscaya aku dapat mengalahkannya.' Tetapi jika kamu katakan, 'Dengan nama Allah,' niscaya si setan makin mengecil hingga bentuknya menjadi sebesar lalat."
Unta kendaraan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terperosok,
maka aku mengatakan, "Celakalah setan."
Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Janganlah kamu katakan, 'Celakalah setan,'
karena sesungguhnya jika kamu katakan demikian, maka ia makin membesar, lalu mengatakan, 'Dengan kekuatanku niscaya aku dapat mengalahkannya.' Tetapi jika kamu katakan, 'Dengan nama Allah,' niscaya si setan makin mengecil hingga bentuknya menjadi sebesar lalat."
Demikian menurut riwayat Imam Ahmad.
Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaumu wal Lailah dan Ibnu Murdawaih di
dalam kitab Tafsir-nya. telah meriwayatkan melalui hadis Khalid Al-Hazza, dari
Abu Tamimah (yaitu Al-Hujaimi), dari Abul Malih ibnu Usamah ibnu Umair, dari ayahnya yang
menceritakan bahwa ia pernah membonceng Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Selanjutnya dia menuturkan hadis hingga sampai pada sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam yang mengatakan:
Jangan kamu katakan demikian, karena
sesungguhnya setan nanti akan makin membesar hingga bentuknya seperti rumah.
Tetapi katakanlah.”Bismillah" (dengan nama Allah), karena sesungguh-nya dia akan
mengecil hingga bentuknya seperti lalat.
Demikian itu terjadi berkat kalimah bismillah.
Karena itu, pada permulaan setiap perbuatan dan ucapan disunatkan terlebih
dahulu membaca basmalah.
Membaca basmalah disunatkan pada permulaan
khotbah,
berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:
berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:
Setiap perkara yang tidak dimulai dengan
bacaan bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), maka perkara
itu kurang sempurna.
Disunatkan membaca basmalah di saat hendak
memasuki kamar kecil,
berdasarkan sebuah hadis yang menganjurkannya.
berdasarkan sebuah hadis yang menganjurkannya.
Disunatkan pula membaca basmalah pada permulaan
wudu, berdasarkan sebuah hadis yang disebutkan di dalam Musnad Imam Ahmad dan
kitab-kitab Sunan. melalui riwayat Abu Hurairah dan Sa'id ibnu Zaid serta Abu
Sa'id secara. marfu’. yaitu:
Tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebut
asma Allah (bismillah) dalam
wudunya.
Hadis ini berpredikat hasan.
Di antara ulama ada yang mewajibkannya di saat
hendak melakukan zikir, dan di antara mereka ada pula yang mewajibkannya secara
mutlak. Membaca basmalah disunatkan pula di saat hendak melakukan penyembelihan,
menurut mazhab Imam Syafii dan segolongan ulama. Ulama lain mengatakan wajib di
kala hendak melakukan zikir, juga wajib secara mutlak menurut pendapat sebagian
dari mereka, seperti yang akan dijelaskan pada bagian lain.
Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan
hadis mengenai keutamaan basmalah, antara lain dari Abu Hurairah Radhiallaahu
'anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah
bersabda:
Apabila kamu mendatangi istrimu, maka sebutlah
asma Allah, karena sesungguhnya apabila ditakdirkan bagimu punya anak, niscaya
akan dicatatkan bagimu kebaikan-kebaikan menurut bilangan helaan napasnya dan
napas-napas keturunannya.
Akan tetapi, hadis ini tidak ada asalnya, dan
aku (penulis: yakni Ibnu Katsir) belum pernah melihatnya dalam suatu kitab pun
di antara kitab-kitab yang dapat dipegang, tidak pula pada yang
lainnya.
Disunatkan membaca basmalah di saat hendak
makan, seperti apa yang disebutkan di dalam hadis sahih Muslim yang menyebutkan
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda kepada anak
tirinya, yaitu Umar ibnu Abu Salamah:
Ucapkanlah bismillah, dan makanlah dengan
tangan kananmu serta makanlah makanan yang dekat denganmu.
Sebagian ulama mewajibkan membaca basmalah
dalam keadaan seperti itu.
Disunatkan pula membaca basmalah di saat hendak
melakukan senggama, seperti yang disebutkan dalam hadis Sahihain melalui Ibnu
Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:
Seandainya seseorang di antara kalian hendak
mendatangi istrinya, lalu ia mengucapkan, "Dengan menyebut asma Allah. Ya Allah,
jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan
(anugerahkan) kepada kami, "karena sesungguhnya jika ditakdirkan terlahirkan
anak di antara keduanya, niscaya setan tidak dapat menimpakan mudarat terhadap
anak itu untuk selama-lamanya.
Berawal dari pengertian ini dapat dikatakan
bahwa kedua pendapat di kalangan ahli nahwu dalam masalah lafaz yang dijadikan
ta'alluq (kaitan) oleh huruf ba dalam kalimat
Bismillah. apakah berupa fi’l
atau isim, keduanya sama-sama mendekati kebenaran. Masing-masing pendapat memang
ada contohnya di dalam Al-Qur'an.
Pendapat yang mengatakan bahwa ta'alluq-nya berupa isim. hingga bentuk
lengkapnya menjadi seperti berikut: "Dengan menyebut asma Allah kumulai",
contohnya di dalam Al-Qur'an ialah firman-Nya:
Dan Nuh berkata, "Naiklah kamu sekalian ke
dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuh."
Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Hud: 41)
Orang yang memperkirakannya dalam bentuk
fi’l, baik fi’l amar ataupun khabar (kalimat
berita), contohnya ialah: "Aku memulai dengan menyebut
asma Allah" atau "Dengan nama Allah aku memulai", seperti pengertian yang
terkandung di dalam firman-Nya:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan. (Al-'Alaq:
1)
Kedua pendapat tersebut benar, karena suatu
fi'il pasti mempunyai masdar. Maka Anda boleh memperkirakan ta'alluq-nya dalam
bentuk fi'il atau masdar-nya. Yang demikian itu disesuaikan dengan pekerjaan
yang akan dibacakan basmalah untuknya, misalnya duduk, berdiri, makan, minum,
membaca, wudu, ataupun salat. Hal yang dianjurkan ialah membaca basmalah di kala
hendak melakukan semua hal yang disebutkan untuk memperoleh berkah dan rahmat
serta pertolongan dalam menyelesaikannya dan agar diterima oleh Allah Subhaanahu
wa ta’ala
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan
melalui hadis Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Dahhak, dari Ibnu Abbas
yang mengatakan bahwa hal yang mula-mula dibawa turun oleh Malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam ialah: "Hai Muhammad,
katakanlah, 'Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk'." Kemudian Malaikat Jibril berkata,
"Katakanlah bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)."
Jibril berkata kepadanya, "Hai Muhammad,
sebutlah asma Allah, bacalah dengan menyebut asma Allah —Tuhanmu— dan berdiri
serta duduklah dengan menyebut asma Allah," menurut lafaz Ibnu Jarir.
Apakah lafaz isim (yang ada pada lafaz Bismi) merupakan
musamma (yang diberi nama) atau lainnya? Dalam hal
ini ada tiga pendapat, yaitu:
Pertama, isim adalah musamma (yang diberi nama). Pendapat ini dikatakan
oleh Abu Ubaidah dan Imam Sibawaih, kemudian dipilih oleh Al-Baqilani dan Ibnu
Faurak; dikatakan pula oleh Ar-Razi (yaitu Muhammad
ibnu Umar) yang dikenal dengan julukan Ibnu Khatib
Ar-Ray di dalam mukadimah kitab Tafsir-nya.
Kedua, menurut golongan Al-Hasywiyyah,
Al-Karamiyyah, dan Al-Asy'ariyyah, isim adalah diri yang diberi nama, tetapi
bukan namanya.
Ketiga, menurut Mu'tazilah isim bukan
menunjukkan yang diberi nama, tetapi merupakan namanya.
Menurut pendapat yang terpilih di kalangan
kami, isim bukan menunjukkan yang diberi nama. bukan pula namanya. Kemudian kami
simpulkan, jika yang dimaksud dengan istilah "isim" adalah "suara dari
huruf-huruf yang tersusun", maka menurut kesimpulannya isim bukanlah musamma,
sekalipun menurut makna yang dimaksud dengan isim adalah diri musamma
(yang diberi nama). Hal
seperti ini termasuk ke dalam Bab "Menjelaskan Hal yang Sudah Jelas Berarti
Tidak Ada Gunanya". Maka dapat dibuktikan bahwa melibatkan diri ke dalam
pembahasan ini dengan mengadakan semua hipotesis sama saja dengan membuang-buang
waktu yang tidak ada guna.
Kemudian dibahas hal yang menunjukkan adanya
perbedaan antara isim dan musamma. Disebutkan bahwa adakalanya isim memang ada,
tetapi musamma-nya tidak ada, seperti lafaz ma'dum (yang tidak ada). Adakalanya sesuatu itu
mempunyai banyak isim (nama),
seperti lafaz mutaradif (sinonim). Adakalanya isim-nya satu. sedangkan mu-samma-nya berbilang,
seperti lafaz yang musytarak (satu lafaz yang
mempunyai dua makna yang bertentangan). Hal tersebut
menunjukkan adanya perbedaan antara isim dan musamma, dan isim merupakan lafaz,
sedangkan musamma adalah penampilannya; musamma itu adakalanya merupakan zat
yang mungkin atau wajib keberadaan zatnya. Lafaz an-nar (api) dan as-salj (es) seandainya merupakan musamma, niscaya
orang yang menyebutnya akan merasakan panasnya api dan dinginnya es. Akan
tetapi. tentu saja hal seperti ini tidak akan dikemukakan oleh orang yang
berakal waras. Juga karena Allah Subhaanahu wa ta’ala telah
berfirman:
Allah mempunyai asma’ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu. (Al-A'raf: 180)
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah
bersabda:
Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh
sembilan isim (nama).
Shahih: Bukhari
7392 dan Muslim
2677
Ini adalah nama yang banyak, tetapi musamma-nya
adalah esa, yaitu Allah Subhaanahu wa ta’ala Allah pun telah berfirman:
Allah mempunyai nama-nama.
(Al-A'raf: 180) Allah telah
meng-idafah-km nama-nama itu kepada dirinya, seperti yang terdapat di dalam
firman-Nya:
Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
Mahabesar. (Al-Waqi'ah:
74)
Demikian pula yang lain-lainnya yang semisal;
kesimpulannya menyatakan bahwa idafah memberikan pengertian mugayarah
(perbedaan antara isim dan musamma). Allah Subhaanahu wa ta’ala telah berfirman: maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna
itu. (Al-A'raf:
180)
Hal ini menunjukkan bahwa isim bukanlah zat
Allah.
Sedangkan orang yang berpendapat bahwa isim
adalah musamma, beralasan
dengan firman-Nya:
Mahaagung nama Tuhanmu Yang mempunyai
Kebesaran dan Karunia. (Ar-Rahman: 78)
Yang Mahaagung adalah Allah Subhaanahu wa
ta’ala , sebagai jawabannya ialah bahwa isim yang diagungkan untuk mengagungkan
Zat Yang Mahasuci; demikian pula jika seorang lelaki mengatakan Zainab —yakni
istrinya— tertalak, maka Zainab menjadi terceraikan. Seandainya isim bukanlah
musamma, niscaya talak tidak akan jatuh kepadanya, dan tentu saja sebagai
jawabannya dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah diri yang diberi nama
Zainab terkena talak.
Ar-Razi mengatakan bahwa tasmiyah artinya
"menjadikan isim ditentukan untuk diri orang yang bersangkutan", maka diri orang
tersebut bukanlah isim-nya.
pdf : Unduh/ Baca
---------------------------------------
Sumber : Tafsir Ibnu Katsir.
versi lengkap bukan ringkasan
=============================
mencari cahaya ilahi
0 komentar:
Posting Komentar